Saring Sebelum Sharing: Hoax atau Fakta?


BERITANESIA.ID - Rangkaian Webinar sebagai bagian dari Gerakan Nasional Literasi Digital yang pada 20 Mei 2021 lalu telah dibuka oleh presiden Jokowi kembali bergulir. Kali ini di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, dengan mengusung tema “Saring Sebelum Sharing: Hoax atau Fakta?”

Kegiatan yang berlangsung pada hari Kamis, tanggal 24 Juni 2021 pukul 14.00 - 17.00 ini mengupas tentang pentingnya kebenaran informasi harus disaring dulu sebelum dibagikan.

Pada webinar yang menyasar target segmen mahasiswa dan umum ini sukses dihadiri oleh 546 peserta daring. Hadir dan memberikan materinya secara virtual, para Narasumber yang berkompeten dalam bidangnya, yakni Mariana R.A. Siregar (Dosen Komunikasi Universitas Pakuan), Feri F. Alamsyah, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi), Dr. H. Rahiman Dani, MA (Dosen Pasca Sarjana UNIHAZ Bengkulu) dan Elfahmi Lubis - Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu). Tampil sebagai Key Opinion Leader (KOL) adalah Salsa Melania Aquina (MC, Work on Penyiar Global Radio, Pengusaha @ayambakar_mamaquin). Hadir pula selaku Keynote Speaker, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Samuel A. Pangerapan.

Pada sesi pertama tampil Mariana R.A. Siregar. Ia menyampaikan materi “Verifikasi sebelum Berbagi”. Ia menyampaikan ada banyak sekali fenomena yang terjadi dalam satu menit. Tidak hanya mengunduh aplikasi digital saja, tapi itu juga harus dibarengi dengan etika digital. Salah satunya cari mana yang baik dan benar, mana yang harus kita verifikasi dan mana yang harus kita bagikan. Paham digital harus dibarengi dengan etika. Penting bagi kita agar dapat memproduksi konten yang sehat dan mendistribusikan konten yang bermanfaat dan mempraktekkan teknik memproduksi serta mendistribusikan pesan lewat layanan internet melalui email, media sosial, forum komunitas online, dan milis. Delapan etika bermedia sosial, yaitu 1) berhati-hatilah dalam menyebarkan informasi pribadi (privasi) ke publik, 2) gunakan etika atau norma saat berinteraksi dengan siapapun di media sosial, 3) berhati-hatilah terhadap akun yang tidak dikenal, 4) pastikan unggahan di akun media sosial tidak mengandung unsur SARA, 5) menjadikan media sosial untuk membangun jaringan atau relasi, 6) pastikan mencantumkan sumber konten yang diunggah, 7) jangan mengunggah apapun yang belum jelas sumbernya, 8) manfaatkan media sosial untuk menunjang proses pengembangan diri.

Feri F. Alamsyah, M.I.Kom tampil sebagai pembicara kedua. Ia menyampaikan materi tentang “Digital Safety”. Jika kebenaran informasi masih belum jelas, sebaiknya kita tidak mudah terpancing untuk reshare, repost, regram, reupload, retweet, dan lainnya. Yang paling berbahaya adalah penyebar hoax, baik yang disengaja (profesional) juga berprofesi sebagai penyebar hoax, maupun tidak sengaja (percaya aja) juga pengguna media sosial. Literasi informasi adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis konten (isi) dalam sebuah informasi. Sedangkan literasi media adalah kemampuan untuk menganalisis kredibilitas media itu sendiri. Cara untuk menangkal hoax adalah mencari informasi serupa dari sumber-sumber lain yang lebih terpercaya, membaca informasi atau berita secara utuh, menunggu klarifikasi, verifikasi menggunakan teknologi yang tersedia, jangan membagikan sesuatu di media sosial sebelum mengalami sendiri, dan ikut serta ke grup diskusi anti hoax. Ruang virtual privat sangat berpotensi menjadi ruang publik. Berpikirlah sebelum bertindak (filter). 

Sebagai pembicara ketiga tampil Dr. H. Rahiman Dani, MA. Ia  menyampaikan materi selanjutnya tentang “Tips Mengenali Berita Palsu dan Verifikasi”. Beliau menyampaikan bahwa perintah agama sudah sangat jelas tentang larangan menyampaikan berita bohong (hoax). Agama juga memerintahkan kita untuk memverifikasi (tabayyun) jika mendapatkan suatu berita. Cara untuk mengenali berita palsu, yaitu pertama, kita harus bisa memisahkan dan membedakan apakah informasi itu diawali dengan main-main, lalu menjadi besar-besaran. Kedua, ada kelompok tertentu yang memang memproduksi kajian politik demokrasi untuk kepentingan politik. Ketiga, klarifikasi dan verifikasi apakah berita itu benar atau hoax. Kurang lebih ada 485 media yang sudah tergabung di Indonesia yang akan mem-framing lembaga atau dinas tertentu. Pers diganjar oleh Undang-Undang (UU) Pers, sedangkan pengguna media sosial diganjar oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Pembicara keempat Elfahmi Lubis menyampaikan materi tentang ”Digital Culture : Literasi Digital dalam Meningkatkan Wawasan Kebangsaan”. Beliau menyampaikan bahwa ruang digital memiliki norma, nilai, dan kebiasaan. Ketika kita berada dan memanfaatkan ruang digital, bukan berarti kita lepas dari nilai, norma, hukum, dan kebiasaan yang berlaku di dunia nyata. Bahkan jauh lebih tinggi di dunia nyata. Hoax di dunia nyata tidak terlalu berimbas, seperti dunia digital. Tidak semua pengguna media sosial melek digital dan beretika, bahkan ada yang menelan informasi secara mentah-mentah. Harus ada regulasi untuk mengendalikannya. Digital culture merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital,maka diperlukan perubahan cara berpikir, budaya kerja kolaboratif, adaptif dan efisien. Ruang digital harus memperkuat rasa nasionalisme, patriotisme, dan kebhinekaan bangsa. Pengetahuan dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kehidupan berbudaya, berbangsa, dan berbahasa Indonesia. 

Salsa Melania Aquina  sebagai key opinion leader dalam webinar kali ini menuturkan bahwa banyak orang Indonesia yang menggunakan media sosial, tapi tidak beretika. Ada dua hal yang harus kita hindari saat bermedia sosial, pertama, jangan mengumbar hate speech, yaitu dengan menyinggung orang lain. Kedua, hindari konten yang menyinggung Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Karena setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Postinglah sesuatu tanpa menyinggung pihak manapun.

Para peserta mengikuti dengan antusias seluruh materi yang disampaikan dalam webinar ini, terlihat dari banyaknya tanggapan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para narasumber. Salah satu pertanyaan menarik datang dari Alga Oktario. Ia bertanya bagaimana jika ada orang yang kerap menyebarkan berita yang kebenarannya diragukan. Pertanyaan ini dijawab Elfahmi Lubis. Menurutnya kita harus mampu mengevaluasi dan memilah informasi tersebut. Literasi digital adalah jawaban untuk mengatasi fenomena tersebut. Kita hentikan narasi-narasi yang tidak sesuai etika kita. Jari-jari kita dapat mencerdaskan, bahkan juga dapat mengancam diri kita. Ingatkan teman kita yang suka menyebarkan hoax, bahwa apa yang dia lakukan bisa mengancam dirinya sendiri dan berurusan dengan hukum. 

Webinar ini merupakan satu dari ribuan webinar yang secara simultan dan massif diselenggarakan di seluruh daerah di Indonesia. Kegiatan massif yang diinisiasi dan diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo RI ini bertujuan mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif sehingga dapat meningkatkan kemampuan  kognitif-nya untuk  mengidentifikasi hoax serta mencegah terpapar berbagai dampak negatif penggunaan internet. 

Pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. 

Namun pada saat bersamaan, data menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia masih pada angka 3,47 dari skala 1 hingga 4. Hal itu menunjukkan indeks literasi digital Indonesia masih di bawah tingkatan baik. Dalam konteks inilah webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo RI ini menjadi agenda yang amat strategis dan krusial, dalam membekali seluruh masyarakat Indonesia beraktifitas di ranah digital.