Webinar “Kebebasan Berekspresi di Era Digital” Pekanbaru


BERITANESIA.ID - Rangkaian Webinar sebagai bagian dari Gerakan Nasional Literasi Digital yang pada 20 Mei 2021 lalu telah dibuka oleh presiden Jokowi kembali bergulir. Kali ini di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, dengan mengusung tema “Kebebasan Berekspresi di Era Digital”

Kegiatan yang berlangsung pada hari Rabu, tanggal 23 Juni 2021 pukul 09.00 - 12.00 ini mengupas tentang kebebasan berekspresi yang harus disikapi dengan bijaksana.

Pada webinar yang menyasar target segmen mahasiswa ini sukses dihadiri oleh 830 peserta daring. Hadir dan memberikan materinya secara virtual, para Narasumber yang berkompeten dalam bidangnya, yakni Muamar Khadafi, MM., CHCM., CPC., PMA (Dosen dan Praktisi Bisnis Digital), Cecep Nurul Alam, ST., MT (Kepala Dinas e-Learning), Eko Hero SSos, MSos, Sc (Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Komunikasi) dan Al Sukri, S.Sos., M.I.Kom (Dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Riau).  Tampil sebagai Key Opinion Leader (KOL) adalah Della Dwi Oktarin (Founder @sayadietkantongplastik, Activist, Kartini Milenial Award 2020). Hadir pula selaku Keynote Speaker, Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Samuel A. Pangerapan.

Pada sesi pertama tampil Muamar Khadafi, MM., CHCM., CPC., PMA. Beliau menyampaikan, dalam kebebasan berekspresi di era digital tentunya kita harus paham terlebih dahulu asal dan sejarahnya munculnya UU ITE. Dimulai dengan kasus cyber crime yang dilakukan Saiful Dian Effendi mengirimkan SMS berisi perkataan cabul, jorok ke korban dan mendapat pelanggaran UU ITE. Cyber crime juga merupakan suatu tindakan kejahatan di dunia maya yang dianggap bertentangan atau melawan undang-undang yang berlaku. Berbicara tentang cyber crime tentunya kita juga sering mendengar tentang Cyber bullying, yang merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar untuk merugikan atau menyakiti orang lain melalui jejaring sosial dunia maya. Dalam cyber bullying terbagi menjadi beberapa jenis yaitu flaming yang merupakan perselisihan yang menyebar antara 2 orang menjadi melibatkan orang banyak. Kemudian, harassment itu merupakan pelecehan dengan mengirimkan berbagai bentuk pesan baik tulisan atau gambar. Lalu, ada denigration atau fitnah, impersonation atau meniru, exclusion atau pengucilan, serta cyberstalking atau penguntitan dunia maya. 

Cecep Nurul Alam, ST., MT tampil sebagai pembicara kedua. Ia menyampaikan pemaparan tentang Undang-undang ITE yang berkaitan dengan kebebasan erkspresi. Pertama, tentang materi UU ITE No 19 tahun 2016 yang berisi tentang menjain pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan. Tujuan pemanfaatan IT dan TE sesuai dengan UU tersebut pasal 4. Perbuatan yang dilarang dan ketentuan pidananya. Secara struktur perundang-undangan diatur dalam UU ITE dari pasal 27 sampai pasal 37 UU ITE. Pada umumnya, ada hal-hal yang wajib dihindari agar tidak terjerat hukum atas UU ITE, yaitu penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, melanggar kesusilaan menyebarkan berita bohong atau hoax dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian menyebarkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku agama dan ras serta antargolongan (SARA), pemerasan dan pengancaman, hal yang bersifat perjudian, membajak akun media sosial orang lain dan teror melalui aplikasi chat.

Sebagai pembicara ketiga tampil Eko Hero SSos, MSos, Sc. Ia menyampaikan tentang digital culture dalam dunia digital. Digital culture sendiri sebenarnya merupakan sebuah revolusi atau transformasi dari kebiasaan offline menjadi kebiasaan online. Dalam konteks ini juga, kita dipaksa untuk melakukan kolaborasi baik secara nyata atau maya. Dalam perubahan ini juga terjadi perubahan besar dalam revolusi industri, membuat orang memaksa dirinya untuk hidup berdampingan dengan sistem digitalisasi. Era digitalisasi ini pergerakannya sangat cepat, masalah yang muncul apakah masyarakat dapat mengikuti perubahan tersebut. Fakta lapangan terhadap digital culture sebagian masyarakat Indonesia terbiasa terhadap isu hoax atau berita palsu, hate speech atau ujaran kebencian, social climbing atau panjat sosial, hypebeast, dan dramaturgi dan lainnya. Sebelum memanfaatkan media sosial kita harus kenali dahulu fungsi media sosial, luruskan niat, ketahui dan pahami persoalan yang terjadi di media sosial, jika ingin mengeluarkan statement kita harus  tetapkan tujuan, pilih bahasa yang santun dengan prediksi efek yang akan di dapat. Jika kehidupan digital yang sehat akan memunculkan kebiasaan masyarakat yang sehat pula.

Pembicara keempat Al Sukri, S.Sos., M.I.Kom menyampaikan materinya tentang budaya, etika dan berekspresi di Era Digital. Dalam perkembangan teknologi saat ini perangkat teknologi komunikasi itu mengubah budaya dan perilaku komunikasi manusia. Kebutuhan komunikasi manusia pun menjadi lebih kompleks. Proses komunikasi kita sudah tidak terbatas apapun lagi dan bisa dilakukan kapan saja dan dimana pun. Manusia dengan budaya yang terus dikembangkannya bisa dilihat dari dua wujud yaitu kebudayaan manusia tampil dengan tendensi kebaikan atau merujuk pada norma-norma yang berlaku dan kebudayaan manusia tampil dengan tendensi kejahatan atau yang merujuk pada tingkah laku melanggar nilai serta norma yang berlaku. Etika diperlukan dalam berinternet, karena kita sebagai pengguna berasal dari beragam etnis dan budaya yang memungkinkan terjadinya konflik. Tindak komunikasi di dunia maya adalah representasi dari dunia nyata dimana komunikasi kita diperantarai oleh teknologi. Infromasi yang kita bagkan di dunia maya memungkinakan terjadinya salah tafsir serta setiap pesan atau informasi yang kita tulis tidak hanya sampai pada orang yang kita maksud tetapi juga pada semua orang pengguna media siber. Pada diri pribadi kita semua menjadi kontrol bagaimana kita memaknai teknologi yang hadir saat ini. Kebudayaan adalah sebagai amanah Tuhan maka kita perlu untuk menjaganya. 

Della Dwi Oktarin sebagai key opinion leader dalam webinar kali ini menuturkan postingan kita tidak hanya mencerminkan kepribadian diri kita sendiri tetapi mencerminkan watak dan karakter warga Indonesia. Jagalah karakter Indonesia yang warganya selalu ramah dan tamah. 

Para peserta mengikuti dengan antusias seluruh materi yang disampaikan dalam webinar ini, terlihat dari banyaknya tanggapan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para narasumber. Salah satu pertanyaan menarik datang dari Audrey Cori Daffa. Ia bertanya bagaimana mengetahui sebuah berita itu adalah sebuah hoax atau bukan. Pertanyaan ini dijawab Eko Hero. Menurutnya kita harus kumpulkan berita yang sejenis, lalu kita pilah mana yang bersumber dari sumber yang memiliki kredibilitas tinggi atau yang rendah. Karena terkadang ada media yang dibuat untuk kepentingan pribadi. 

Webinar ini merupakan satu dari ribuan webinar yang secara simultan dan massif diselenggarakan di seluruh daerah di Indonesia. Kegiatan massif yang diinisiasi dan diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo RI ini bertujuan mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif sehingga dapat meningkatkan kemampuan  kognitif-nya untuk  mengidentifikasi hoax serta mencegah terpapar berbagai dampak negatif penggunaan internet. 

Pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. 

Namun pada saat bersamaan, data menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia masih pada angka 3,47 dari skala 1 hingga 4. Hal itu menunjukkan indeks literasi digital Indonesia masih di bawah tingkatan baik. Dalam konteks inilah webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo RI ini menjadi agenda yang amat strategis dan krusial, dalam membekali seluruh masyarakat Indonesia beraktifitas di ranah digital.