Jika Saya bukan Pendukung Liverpool


Kegagalan Liverpool FC (selanjutnya disebut Liverpool saja) dalam meraih juara English Premier League (EPL) pekan lalu masih menyisakan abses bagi pendukung Merseyside Merah di seantero jagat. Termasuk saya.

Bagaimana tidak. Gelar yang sudah diidamkan lebih dari dua dekade melayang begitu saja. Bahkan piala "sakti" tersebut sudah di pelupuk mata. Ibarat puasa, ini seperti menanti beduk azan Magrib yang tinggal hitungan menit, tapi tiba-tiba saja MUI mengumumkan bahwa jadwal azan Magrib diundur hingga tahun depan. Kesal?

Ya. Sedikit.

Mengapa sedikit? Sebab, sebagai pendukung Liverpool yang bukan garis keras, saya sudah terbiasa dipaksa menelan pil pahit setiap tahunnya. Rentetan kekecewaan sudah menjadi sahabat karib. Saking akrabnya, kami sudah mahir menyembunyikan raut kekecewaan dan bersikap sok tegar di hadapan khalayak.

Ketika menciptakan manusia, mungkin Tuhan menyisakan sekian persen manusia-manusia tahan banting dengan hati sekeras batu karang. Mereka adalah para pendukung Liverpool. Dan sisanya adalah pendukung Arsenal.

Khusus musim kemarin (2018/2019), Liverpool bermain sangat cantik sejak awal musim. Di liga domestik, tim besutan Jurgen Klopp ini hanya membukukan satu kali kekalahan dari total seluruh pertandingan. Namun sialnya, Liverpool harus bermain imbang di beberapa pertandingan pada paruh musim. Justru rentetan pertandingan yang berakhir seri tersebut menjadi peluru perak bagi Si Merah.

Ironisnya, satu-satunya kekalahan yang ditelan Liverpool pada musim lalu datang dari Manchester City yang sekaligus memupuskan asa Mohammed Salah, dkk. untuk menambah koleksi piala di ruang ganti Liverpool yang sudah dipenuhi jaring laba-laba.

Sakit memang. Tapi begitulah Liverpool. Seolah tidak suka melihat pendukungnya bergembira. Liverpool seperti seorang pengidap masokis yang durjana dan mendapat kenikmatan atas kesakitan orang lain.

Atas rentetan awan kelabu dan kekecewaan ini, pikiran saya mengelana pada bertahun silam. Ketika itu saya masih bocah dan masih menjadi pendukung dari Parma Calcio 1913 (dulu Parma A.C.), sebuah tim berlogo semenjana dari Italia. 

Parma dari saat saya mengenalnya hingga hari ini, masih menjadi tim yang begitu-begitu saja. Tidak superior, namun tidak juga inferior. 

Mengingat itu, saya berandai. Andai saya bukan seorang pendukung Liverpool, dan masih menjadi pendukung Parma. Tentu hari ini tidak perlu dongkol melihat Manchester City bergembira di ruang ganti, atau menahan sentimen akibat cemooh pendukung Setan Merah yang berisik. Andai saja.

Tags