BERITANESIA.ID - Untuk pertama kalinya dalam lebih dari 130 tahun, puncak Gunung Fuji di Jepang tak kunjung tertutup salju hingga akhir November, jauh lebih lambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Gunung yang ikonik ini biasanya mulai menerima salju pada awal Oktober, tepatnya sekitar tanggal 2, dan tetap bersalju sepanjang tahun hingga mencair selama musim panas. Setelah musim panas berlalu, salju biasanya segera kembali menyelimuti puncak gunung, menandai pergantian musim di Jepang. Namun, hingga Selasa (30/10/2024), puncak Gunung Fuji masih belum menunjukkan tanda-tanda tertutup salju. Hal ini menjadikan tahun ini sebagai periode tanpa salju terlama yang tercatat sejak 1894, tahun ketika Kantor Meteorologi Lokal Kofu memulai pengamatan di gunung tersebut.
Fenomena ini memicu pertanyaan apakah keterlambatan salju tersebut bisa menjadi tanda buruk terkait perubahan iklim yang kian terasa. Yutaka Katsuta dari Kantor Meteorologi Kofu menyatakan bahwa suhu yang lebih hangat dari rata-rata sepanjang musim panas lalu dan berlanjut hingga awal musim gugur adalah faktor utama yang menyebabkan terlambatnya pembentukan salju. “Suhu tinggi di musim panas ini, dan suhu hangat tersebut berlanjut hingga September, menghalangi udara dingin untuk masuk,” jelas Katsuta. Kondisi ini membuat suhu di sekitar puncak tetap terlalu hangat untuk mendukung proses pembentukan salju.
Tahun ini, Jepang mengalami musim panas terpanas yang tercatat dalam sejarah, bahkan menyamai rekor panas pada 2023. Gelombang panas ekstrem ini tak hanya melanda Jepang, namun juga banyak bagian dunia lainnya, memberikan gambaran nyata dari dampak perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Smithsonian Magazine melaporkan bahwa fenomena kurangnya salju di puncak Gunung Fuji bisa menjadi tanda musim dingin yang lebih hangat dari biasanya, pertanda adanya ketidakseimbangan iklim yang makin parah.
Menurut sebuah studi yang diterbitkan pada Januari lalu, aktivitas manusia, terutama dalam bentuk emisi gas rumah kaca, menjadi penyebab utama dari berkurangnya tutupan salju di Belahan Bumi Utara selama empat dekade terakhir. Jika tren pemanasan global ini tidak terkendali, banyak bagian dunia diperkirakan akan mengalami musim dingin tanpa salju pada tahun 2100. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi ekosistem alam yang bergantung pada keseimbangan musim.
Penundaan salju di Gunung Fuji menjadi semacam alarm bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman yang jauh, melainkan telah nyata hadir di hadapan kita. Jika kondisi ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin fenomena ini akan menjadi hal biasa di tahun-tahun mendatang. Dampak langsungnya bukan hanya pada perubahan cuaca, namun juga pada ekosistem, pariwisata, hingga kehidupan masyarakat yang selama ini bergantung pada siklus musim yang stabil.