Beritanesia.id - Bagaimana sebenarnya khasiat kalung eukaliptus (eucalyptus) masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Namun, Kementerian Pertanian justru menyatakan bahwa kalung tersebut bukan
antivirus SARS-CoV-2. Melainkan, aromaterapi untuk membantu meredakan gangguan
pernapasan.
Dalam keterangan pers kemarin (6/7),
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementan
Fadjry Djufry mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah mengklaim kalung
eukaliptus sebagai kalung antivirus korona.
Tulisan antivirus dalam kemasan, kata
dia, hanya ada di prototipe yang jadi penyemangat untuk para peneliti bahwa
penelitian akan menuju ke sana. ”Tidak ada klaim antivirus,” tegasnya.
Menurut dia, kalung tersebut merupakan
aksesori kesehatan. Di dalamnya terdapat aromaterapi dengan kandungan bahan
aktif 1,8-cineole yang akan merusak struktur Mpro (main protein) dari virus.
Dengan begitu, virus akan sulit bereplikasi dan akhirnya jumlahnya terus
berkurang.
Sebelumnya, memang tak ada klaim
langsung terhadap SARS-CoV-2. Hanya, disebutkan bahwa hasil uji dari Eucalyptus
sp yang digunakan mampu membunuh 80–100 persen virus seperti avian influenza
hingga virus korona. Sebagai informasi, korona terdiri atas banyak jenis virus.
Mulai MERS CoV hingga yang terbaru SARS-CoV-2. Namun, di masa pandemi saat ini,
masyarakat tentu akan langsung berpikir bahwa itu untuk Covid-19.
Di luar itu, Fadjry menjelaskan bahwa
penelitian sejenis sebetulnya bukan hal baru. Sebab, sejak 40 tahun lalu,
pihaknya terbiasa melakukan penelitian terkait jamu-jamuan. Penelitian
eukaliptus itu pun sudah diawali dengan studi literatur dan pengalaman empiris
tanaman potensial antivirus serta penambah daya tahan tubuh. Selanjutnya,
terpilih sekitar 50 tanaman potensial yang kemudian dilakukan ekstraksi maupun
destilasi untuk mendapatkan bahan aktifnya. Bahan aktif yang diperoleh diuji
untuk mengetahui karakteristik dan kemampuan antivirusnya dengan pengujian in
vitro pada telur berembrio.
Dia mengakui, banyak yang mempertanyakan
kompetensi Kementan melakukan penelitian tersebut. Sesuai arahan Menteri
Pertanian Syahrul Yasin Limpo, pihaknya berupaya menggali potensi besar obat
dan penawar yang bermanfaat bagi bangsa dan negara di tengah pandemi saat ini.
”Saya punya koleksi eukaliptus di kebun percontohan dan kami sering melakukan
penelitian soal jamu-jamuan,” paparnya.
Ketiga
produk yang didaftarkan di BPOM pun masuk kategori jamu tersebut. Sejauh ini,
ada lima produk eukaliptus yang dikembangkan. Yaitu, roll on, inhaler, balsam,
minyak aromaterapi, dan kalung aromaterapi. Hak paten atas produk eukaliptus
sudah didaftarkan ke Ditjen HKI dan dilisensi oleh mitra industri. Sementara
itu, produk roll on dan inhaler telah
mendapatkan izin edar dari BPOM. Untuk kalung aromaterapi, masih proses
pengajuan izin edar.
Kementan berniat melanjutkan riset
sampai uji klinis sehingga nanti dapat dikembangkan untuk membantu mengatasi
pandemi. Dia berharap potensi eukaliptus menetralisasi virus korona itu bisa
ditangkap lembaga lain yang lebih kompeten untuk melakukan pengujian klinis
pada manusia atau pasien Covid-19. Dengan demikian, upaya negara yang sedang
berlomba menemukan obat atau teknologi penanganan wabah bisa lebih cepat. ”FK
Universitas Indonesia (UI) mau bekerja sama dengan kita. Ada Universitas
Hasanuddin (Unhas) juga terkait uji klinis produk eukaliptus ini. Tentu kita
sambut positif,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dekan
Fakultas Kedokteran UI Prof Ari Fahrial menyampaikan, eukaliptus memang bukan
barang baru. Secara turun-temurun, eukaliptus telah digunakan masyarakat.
Namun, perlu jadi catatan bahwa penelitian baru dalam tahap uji in vitro.
Dengan demikian, tidak boleh berlebihan beranggapan hasil penelitian in vitro
itu diklaim sebagai antivirus SARS-CoV-2.
Meski begitu, hasil penelitian yang
terbukti efektif bekerja melawan virus harus dilanjutkan. ”Walaupun belum detail
apakah itu dapat digunakan untuk Covid-19,” paparnya.
Potensi itulah yang membuat UI sebagai
institusi pendidikan siap bekerja sama untuk melanjutkan riset. Pihaknya
mempunyai fasilitas dan sumber daya yang memadai untuk meneliti lebih lanjut
potensi yang muncul pada eukaliptus tersebut.
”Tentu harapan masyarakat begitu besar
ketika disampaikan ada sesuatu secara Mpro yang bekerja efektif. Kami sebagai
institusi pendidikan merasa perlu dan siap bekerja sama untuk melakukan riset,”
jelasnya.
Secara terpisah, Koordinator Penelitian
Drug Discovery and Development Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Misteria
Yunovilsa Putra mengatakan, bahan kalung yang digunakan peneliti Kementan itu
adalah minyak kayu putih. ’’Jadi seperti aroma terapi dalam bentuk kalung,’’
tuturnya. Sistem kerjanya dihirup untuk inhalasi.
Masteria mengatakan mengikuti
perkembangan riset kalung tersebut. Sampai kemudian didaftarkan ke BPOM sebagai
jenis jamu dengan khasiat atau indikasi melegakan tenggorokan. Secara tidak
langsung, efek melegakan tenggorokan itu berkaitan dengan gejala pasien
Covid-19 yang mengalami gangguan pernapasan.
Namun, apakah secara langsung aroma kayu
putih tersebut bisa membunuh virus korona, khususnya SARS-CoV-2, masih butuh
penelitian lebih lanjut.
Dia mengakui belum membaca literatur
secara komprehensif terkait efek antivirus dari daun atau minyak kayu putih
itu. Kalaupun minyak kayu putih bisa membunuh virus korona, perlu dipastikan
apakah bisa mematikan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Apalagi dengan cara penggunaan
yang dihirup. Bukan ditelan atau diinjeksi seperti antivirus pada umumnya.
Menurut dia, perlu kajian lebih mendalam
terkait penggunaan kalung dari daun kayu putih itu. Harus diketahui pula
takarannya untuk menghindari efek samping yang ditimbulkan. Selain itu, perlu
uji in vitro dengan virus yang spesifik. Sebab, kata dia, setiap jenis atau
varian virus memiliki daya agregasi yang berbeda-beda.
Sumber : JawaPos.com