Tahukah Kamu? Ini Dia Dampak Penambangan Ilegal terhadap Neraca Perdagangan Indonesia


Beberapa waktu  lalu, telah beredar film Sexy Killers yang memunculkan berbagai perdebatan dan isu-isu negatif seputar pertambangan di Indonesia. Dibalik besarnya keuntungan dari kegiatan pertambangan yang dirasakan oleh pihak tertentu, ternyata banyak kerugian yang berdampak pada negara dan masyarakat sekitar ketika kegiatan pertambangan tidak dilakukan sebagaimana semestinya. Hal ini karena banyaknya pihak yang melakukan penambangan illegal di Indonesia. 

Sebagaimana dilansir dari liputan6 yang diungkapkan oleh Dirjen PPK, bahwa ada sekitar 8.8683 titik telah terindikasi penambangan illegal dengan luas 500 ribu hektare (Ha). Setelah dilakukan verifikasi di 352 lokasi,  ada sekitar 37 persen  jenis aktivitas tambang pasir dan batu, serta 25 persen untuk tambang emas. Kementrian ESDM memperkirakan, negara telah kehilangan 120  ton emas per tahun.  Akibat dari kegiatan tersebut, negara mengalami kehilangan penerimaan dari sektor pertambangan sebesar Rp. 318 triliun untuk komoditas emas, dan Rp. 315 miliar untuk komoditas non emas.

Tidak hanya beroperasi tanpa izin, fatalnya mereka tidak melakukan reklamasi setelah kegiatan penambangan selesai. Sebagaimana data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementrian ESDM pada Juni 2018, terdapat hampir 8 juta hektar lubang tambang yang belum tereklamasi. 

 

 

Berdasarkan kasus yang terjadi di Kalimantan Utara, negara mengalami kerugian hingga Rp. 201 miliar yang diakibatkan oleh 45 perusahaan yang belum memberikan jaminan pasca tambang. Akibatnya, Kementrian LHK menggunakan dana APBN sebesar Rp. 290 miliar untuk melakukan reklamasi di dua hingga tiga lokasi saja dengan luas 8-12 hektar. Dan pada tahun 2019 ini, pemerintah akan mereklamasi tambang seluas 7.000 hektare, dimana jumlah tersebut mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir.

 

 

 

Tingginya tingkat penambangan illegal ini berdampak pada menurunnya kinerja ekspor di Indonesia, terutama di sektor pertambangan dan migas. Hal ini karena tambang illegal melakukan ekspor sendiri hingga 50 juta. Di mana aktivitas tersebut tidak tercatat sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (BNBP). Akibatnya, penerimaan negara dari sektor pertambangan juga menurun karena tidak adanya royalti eksplorasi sebagai bentuk pembayaran atas pemanfaatan Sumber Daya Mineral milik negara. 

Tidak hanya itu, besarnya jumlah ekspor illegal tersebut juga berdampakpada terjadinya kelebihan suplai di pasar dunia, sehingga harga komoditas tambang meningkat. Hal tersebut mengakibatkan neraca perdagangan mengalami defisit hingga 2,5 miliar dollar AS pada  April 2019, lebih kecil dibandingkan defisit tahun 2018 yang mencapai 8,57 miliar. 

Tentu  kasus ini tidak boleh dibiarkan. Pemerintah harus menekankan kebijakan lebih ketat terkait perijinan usaha pertambangan dan meningkatkan komoditas ekspor yang mengalami penurunan. Jika tidak, maka nilai mata uang rupiah akan melemah. Akibatnya, harga barang impor semakin tinggi dan berpotensi terjadinya inflasi di masyarakat.

Tags