Perlukah Mencantumkan Artikel Media Online dan Media Sosial sebagai Rujukan?


Mungkin khawatir dicap plagiat, banyak penulis artikel di Kompasiana memasukkan artikel media online (MOL) dan media sosial (Medsos)  dalam daftar rujukan

Pertanyaannya di sini  bukan soal salah atau benar.  Sebab sudah pasti pencantuman semacam itu tidak salah atau sekurang-kurangnya dapat dibenarkan.

Pertanyaannya adalah soal perlu atau tidak perlu.   Jawabanku, "Tidak perlu!".  Nah, sebuah jawaban kontroversial, bukan?   Saya duga, mayoritas menolak jawaban di atas.   Karena alasan terindikasi plagiasi.

 

 

Baiklah.  Saya akan sampaikan argumen yang mendasarinya.   Dimulai dari pertanyaan sederhana, apa status yang diberikan pada artikel MOL dan Medsos itu?  Kemungkinannya dua:   "artikel" atau "data".

 

 

 

Jika memberinya status "artikel", sebagaimana adanya, maka tidak ada pilihan lain kecuali mendaftarkannya sebagai salah satu rujukan.   Kalau sudah begitu, tak ada yang perlu diperdebatkan lagi.

Tapi jika memberinya status "data", dalam hal ini data kualitatif dalam wujud teks, maka tidak ada keharusan mendaftarkannya sebagai rujukan. Mengapa?  Begini penjelasannya.

"Data" adalah sesuatu yang dikumpul, diolah, dianalisis, dan kemudian dinarasikan dalam bentuk tulisan.  Dalam hal ini, telah dilakukan pengumpulan, pengolahan, dan  "analisis isi" (content analysis) atas sejumlah artikel MOL dan Medsos. Sehingga artikel-artikel itu tidak lagi dilihat "individu per individu" melainkan sebagai suatu "keseluruhan data".   Dengan demikian, dia telah kehilangan hakekat sebagai sebuah artikel rujukan.

Saya beri contoh.  Waktu saya menulis artikel "Mengenal 'Negeri Matahari Terbit' di Tanah Batak" (K, 6/11/18), saya terlebih dahulu membaca banyak artikel MOL dan Medsos.   Saya harus lakukan itu karena saya sejatinya belum pernah berkunjung ke Parsoburan yang saya sebut "Negeri Matahari Terbit".

Batas perhentian saya mencari dan membaca artikel MOL dan Medsos adalah saat telah mencapai "titik jenuh" (redundant).   Jenuh dalam pengertian, setelah membaca misalnya lima artikel tentang ekonomi Parsoburan, lalu menambah bacaan dua atau tiga artikel lagi, saya tidak menemukan informasi baru lagi.  

Pada titik itu saya berhenti mencari dan membaca artikel baru.  Karena saya sudah tahu tulang punggung ekonomi Parsoburan adalah padi sawah dan kebun kopi, kemenyan, dan andaliman.  Pengetahuan inilah yang kemudian saya angkat dan tuangkan dalam artikel saya.

Saya tak  perlu lagi  menyebut lima atau delapan judul artikel MOL dan Medsos tadi dalam daftar rujukan.   Status artikel-artikel itu bagi saya adalah "data kualitatif".   Dengan mengumpul, mengolah, dan menganalisisnya, saya kemudian bisa membuat narasi tentang ekonomi (agribisnis) Parsoburan.

Hal serupa juga saya lakukan jika menulis artikel-artikel politik.  Perhatikan bahwa begitu banyak MOL dan Medsos yang memuat artikel dengan isi yang serupa.   Jadi apa dasarnya harus mendaftarkan satu artikel sebagai rujukan dan melupakan yang lainnya?   

Saya memilih  memperlakukan semua artikel itu sebagai "data kualitatif" yang siap dikumpul, diolah, dan dianalisis.  Dari hasil analisis kemudian diproduksi sebuah narasi baru yang berbeda dari artikel-artikel berstatus "data" tadi.

Tapi memang ada kalanya perlu untuk mencantumkan judul artikel MOL atau Medsos dalam tulisan.  Saya melakukan hal semacam itu jika menulis sesuatu yang menurut saya cukup sensitif.  

Atau setidaknya paparan memerlukan presisi, agar tak ditafsir lain.  Saya lakukan itu misalnya  saat mengutip pernyataan seseorang, misalnya Anies Baswedan, sebagaimana dituliskan dalam artikel. Lalu di ujung kalimat, dalam tanda kurung, saya tuliskan judul artikel sumber.   

Mungkin tetap ada yang tidak setuju argumen di atas.  Ya, silahkan saja.   Tapi satu hal yang perlu diingat, menulis artikel di Kompasiana misalnya bukanlah seperti menulis artikel untuk jurnal ilmiah.  Jadi tidak perlu harus mengikuti kaidah-kaidah ketat  penulisan artikel ilmiah.   Kecuali memang Anda tipe orang gemar mempersulit diri.

Tentu, jika merujuk satu pandangan teoritis dari seorang ahli, maka wajib mencantumkan nama ahli tersebut dan judul tulisannya (buku atau artikel) dalam tubuh tulisan.  Khrisna Pabichara kerap melakukan itu dan beliau memang teladan terbaik untuk kejujuran perujukan.

Tapi, seperti saya sebut di awal, kita berbicara tentang artikel MOL dan Medsos di sini.  Bukan tentang artikel atau buku yang telah melewati seleksi editor ahli lalu diterbitkan secara konvensional atau online. Lazimnya isi artikel atau buku semacam itu bukan pengulangan, tapi selalu menampilkan suatu "kebaruan" (novelty) yang bersifat spesifik.

Beda dengan artikel MOL atau Medsos.  Lazimnya adalah pengulangan-pengulangan penyiaran isu yang sama.  Kerap dengan bumbu-bumbu subyektivitas, khususnya di Medsos.   Karena itu, artikel-artikel semacam itu lebih tepat diperlakukan sebagai "data mentah" ketimbang "artikel rujukan".

Pada akhirnya, perlu disampaikan,  bukan maksud saya memaksakan sebuah pendapat tentang perujukan artikel MOL dan Medsos di sini. Boleh setuju, boleh tidak, dengan argumentasi masing-masing.  Tapi kalau toh mau lanjut berdiskusi, saya terbuka menerima ragam pandangan.

Tags