Beritanesia.id - Tim advokasi penyidik KPK Novel Baswedan melaporkan
Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Irjen Pol. Rudy Heriyanto Adi Nugroho atas
dugaan menghilangkan barang bukti.
"Pada hari ini tim advokasi Novel Baswedan
melaporkan Irjen Pol. Rudy Heriyanto selaku mantan Direktur Kriminal Umum Polda
Metro Jaya ke Divisi Propam Polri atas dugaan pelanggaran kode etik profesi
karena menghilangkan barang bukti dalam perkara penyiraman air keras terhadap
Novel Baswedan," kata anggota tim advokasi Kurnia Ramadhana di Jakarta,
Selasa (7/7).
Irjen Pol. Rudy Heriyanto sebelum menjabat sebagai
Kepala Divisi Hukum (Kadivkum) Polri merupakan bagian dari tim penyidik yang
menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel.
"Saat itu dia menduduki posisi sebagai Direktur
Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya sehingga segala persoalan dalam
penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan," kata Kurnia menambahkan.
Persoalan itu, menurut dia, termasuk dugaan
penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja untuk menutupi fakta
sebenarnya.
Ada empat hal yang menjadi landasan laporan
tersebut, yakni pertama, sidik jari pelaku di botol dan gelas yang digunakan
sebagai alat penyerangan hilang.
Pada tanggal 17 April 2019 lalu, Kabid Humas Polda
Metro Jaya Kombes Pol. Argo Yuwono mengatakan bahwa tim penyidik tidak
menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan oleh pelaku untuk menyiram wajah
Novel Baswedan.
Padahal, dalam banyak pengakuan, baik dari korban
maupun para saksi, gelas tersebut ditemukan oleh kepolisian pada hari yang
sama, 11 April 2017, sekitar pukul 10.00 WIB dalam kondisi berdiri.
"Tentu saja, sidik jari tersebut masih menempel
dalam gelas dan botol, terlebih lagi pada saat ditemukan gagang gelas tidak
bercampur cairan air keras itu. Selain itu, botol dan gelas yang digunakan oleh
pelaku pun tidak dijadikan barang bukti dalam penanganan perkara ini,"
ungkap Kurnia.
Fakta lain yang disebut tim advokasi diduga
disembunyikan adalah pengakuan dari terdakwa Rahmat Kadir Mahulette yang
menyebutkan bahwa persiapan penyiraman sejak masih berada di Markas Brimob.
"Padahal, persiapan penyiraman dilakukan di
dekat kediaman korban, ini dapat dibuktikan dari aspal yang terkena siraman air
keras saat pelaku menuangkan dari botol ke gelas," ungkap Kurnia.
Hal kedua adalah CCTV di sekitar kediaman Novel
tidak dijadikan barang bukti.
Kembali mengutip pernyataan Kabid Humas Polda Metro
Jaya Kombes Pol. Argo Yuwono pada tanggal 10 Oktober 2017, kepolisian telah
mengumpulkan 400 CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.
Namun, berdasarkan pengakuan Novel dan saksi
diketahui terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute
pelarian pelaku. Akan tetapi, tidak diambil oleh kepolisian. Bahkan, beberapa
CCTV di sekitar rumah Novel diketahui juga memiliki resolusi yang baik untuk
dapat memperjelas wajah pelaku dan rute pelarian.
"Kumpulan CCTV yang diperoleh kepolisian hanya
sekadar untuk menyamakan dengan pengakuan para pelaku," kata Kurnia.
Hal ketiga, cell tower dumps sebagai teknik
investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi
di sekitar rumah korban tidak pernah dimunculkan dalam setiap tahapan
penanganan perkara.
"Dalam penanganan perkara, mulai dari
penyidikan sampai persidangan, rekaman CTD itu tidak pernah ditampilkan oleh
kepolisian. Apalagi, dalam kejahatan terorganisasi seperti ini, dapat
dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan
jaringan selular," ungkap Kurnia.
Tim advokasi menilai ada upaya dari Rudy Heriyanto
untuk menutupi komunikasi-komunikasi yang ada di sekitar rumah korban, baik
sebelum kejadian maupun setelahnya.
Hal keempat adalah minim penjelasan terkait dengan
sobekan baju gamis milik Novel.
Pada persidangan 30 April 2020 majelis hakim di
Pengadilan Negeri Jakarta Utara memperlihatkan baju gamis yang dikenakan oleh
korban saat kejadian penyiraman air keras terjadi. Namun, hal yang janggal
adalah terdapat sobekan pada baju gamis milik korban tersebut.
Menurut pengakuan kepolisian, baju tersebut disobek
untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras.
"Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan
hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi.
Dalam hal ini, korban tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait
dengan sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya," kata
Kurnia menambahkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tim advokasi menduga
Irjen Pol. Rudy Heriyanto selaku mantan Dirkrimum Polda Metro Jaya melanggar
ketentuan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 14 Tahun 2011
tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI.
Sumber : Merdeka.com