BERITANESIA.ID - Myanmar tengah berkabung atas hari paling berdarah sejak kudeta militer dengan sedikitnya 114 orang tewas dalam berbagai unjuk rasa sepanjang Sabtu (27/3) waktu setempat. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melontarkan kecaman keras dengan menyebut militer Myanmar melakukan pembunuhan massal.
Seperti dilansir Reuters, Senin (29/3/2021), laporan media lokal dan saksi mata menyebut anak-anak termasuk dalam korban tewas dalam penindakan sarat kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar dalam berbagai unjuk rasa pada Sabtu (27/3) waktu setempat.
Unjuk rasa kembali digelar para demonstran antikudeta saat militer sedang memperingati Hari Angkatan Bersenjata Myanmar.
"Kita memberi hormat kepada para pahlawan kita yang mengorbankan nyawa selama revolusi ini dan Kita Harus Memenangkan REVOLUSI Ini," demikian pernyataan salah satu kelompok demonstran utama, Komisi Pemogokan Umum Nasional (GSCN), via Facebook.
Saat memimpin parade militer untuk memperingati Hari Angkatan Bersenjata, pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menjanjikan bahwa militer akan melindungi rakyat dan memperjuangkan demokrasi.
Media lokal Myanmar Now menyebut sedikitnya 114 orang tewas dalam unjuk rasa di berbagai wilayah sepanjang Sabtu (27/3) waktu setempat.
Para korban jiwa termasuk 40 orang yang tewas di Mandalay -- kota terbesar kedua di Myanmar dan 27 orang yang tewas di Yangon -- kota terbesar di Myanmar. Dua anak perempuan berusia 13 tahun dilaporkan tewas di Mandalay dan Sagaing.
Total kematian itu tercatat dari wilayah Kachin di area pegunungan utara Myanmar hingga wilayah Taninthartharyi di ujung selatan negara itu, dekat Laut Andaman. Secara total, lebih dari 440 warga sipil tewas dalam berbagai unjuk rasa sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Pelapor Khusus PBB, Tom Andrews, dalam pernyataannya menyebut sudah waktunya bagi dunia untuk mengambil tindakan -- jika tidak melalui Dewan Keamanan PBB maka melalui pertemuan puncak darurat internasional.
Dia mencetuskan agar junta militer Myanmar diputus aksesnya dari sumber pendanaannya, seperti pendapatan dari minyak dan gas, serta diputus aksesnya ke persenjataan.
"Kata-kata kecaman atau keprihatinan terus terang terdengar hampa bagi rakyat Myanmar, sementara junta militer melakukan pembunuhan massal terhadap mereka," tegas Andrews dalam pernyataannya.
"Rakyat Myanmar membutuhkan dukungan dunia. Kata-kata saja tidak cukup. Sudah lewat waktunya untuk tindakan kuat dan terkoordinasi," cetusnya.