• Beranda
  • Berita
  • Vaksin Nusantara Menuai Banyak Kritik Dari Berbagai Pihak
Nasional

Vaksin Nusantara Menuai Banyak Kritik Dari Berbagai Pihak

By Sabtu, 13 Maret 2021 Pengunjung (978) 8 Menit Bacaan
vaksin-nusantara-menuai-banyak-kritik-dari-berbagai-pihak -

BERITANESIA.ID - Pengembangan vaksin Nusantara mendapat sorotan tajam. Tak hanya dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito, Presiden Jokowi juga memberikan pernyataan soal vaksin dalam negeri.

Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Rabu (10/3/2021), Penny dengan tegas menyatakan vaksin yang diinisiasi mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu dinilai tak sesuai kaidah medis.

"Pemenuhan kaidah good clinical practice juga tidak dilaksanakan dalam penelitian ini," kata Penny.

Dua hari setelahnya, Jumat (12/3/2021), Presiden Joko Widodo mengingatkan agar proses pembuatan vaksin melalui kaidah saintifik atau keilmuan yang berlaku.

"Saat ini vaksin yang tengah dikembangkan di Tanah Air adalah vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara yang terus harus kita dukung," ujar Jokowi.

"Tapi untuk menghasilkan produk obat dan vaksin yang aman, berkhasiat dan bermutu, mereka juga harus mengikuti kaidah-kaidah saintifik," lanjutnya.

Pendekatan Sel Dendritik, Diklaim Pertama di Dunia

Anggota tim peneliti vaksin Nusantara FK Undip/RSUP dr Kariadi, Yetty Movieta Nency mengklaim Vaksin Nusantara merupakan vaksin Covid-19 pertama di dunia yang menggunakan pendekatan sel dendritik.

Vaksin ini juga tidak mengandung virus corona yang sudah dinonaktifkan, sebagaimana kebanyakan vaksin Covid-19 lainnya.

"Penelitian vaksin Covid-19 di dunia ini kan ada sampai 200-an kelompok penelitian ya. Tapi setahu saya vaksin dengan pendekatan dendritik, ini adalah yang pertama di dunia," ujar Yetty, Rabu (17/2/2021).

Yetty menjelaskan, metode ini pertama-tama adalah mengambil darah dari tubuh seorang subyek atau pasien.

Selanjutnya darah itu akan dibawa ke laboratorium untuk dipisahkan antara sel darah putih dan sel dendritik (sel pertahanan, bagian dari sel darah putih).

Sel dendritik ini akan dipertemukan dengan rekombinan antigen di laboratorium sehingga memiliki kemampuan untuk mengenali virus penyebab Covid-19 SARS-CoV-2.

"Dia kami kenalkan dengan rekombinan antigen dari Sars-CoV-2, bukan antigen murni, semacam turunan dari SARS-CoV-2. Kami harapkan sel dendritik ini menjadi pintar, dia punya memori untuk mengenali dan melawan SARS-CoV-2," jelas dr. Yetty.

Kemudian setelah sel berhasil dikenalkan dengan virus corona, maka sel dendritik akan kembali diambil untuk disuntikkan ke dalam tubuh subyek atau pasien (yang sama) dalam bentuk vaksin.

Dengan ini, pasien diharapkan memiliki kekebalan atau antibodi yang baik dalam melawan virus corona.

Dari proses pengambilan darah, laboratorium, hingga akhirnya menjadi vaksin yang siap disuntikkan, Yetty menyebutkan diperlukan waktu satu minggu.

Untuk diketahui, vaksin Nusantara yang juga disebut juga AV-Covid-19 ini dikembangkan dari kerja sama antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), RSUP dr. Kariadi Semarang, dan Universitas Diponegoro.

Vaksin Covid-19 ini disebut sudah menyelesaikan uji klinis tahap 1 dan mulai melakukan uji klinis tahap kedua.

Adapun uji klinis fase satu untuk Vaksin Nusantara telah selesai dengan melibatkan 27 relawan.

Saat ini tim berencana melanjutkan ke uji klinis fase 2 dengan melibatkan 180 relawan.

Selanjutnya jika sudah melakukan uji klinis fase 2 rencananya uji klinis fase III akan dilakukan kepada 1.600 orang.

Kritik BPOM

"Komite etik dari RSPAD Gatot Subroto, tapi pelaksanaan penelitian ada di RS dr Kariadi," kata Penny, Rabu.

Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa BPOM menilai vaksin nusantara belum memenuhi kaidah ilmiah.

Padahal, jelasnya, setiap tim peneliti harus memiliki komite etik di tempat pelaksanaan penelitian yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan keselamatan subyek penelitian.

Penny juga menyoroti perbedaan data dari tim uji klinis Vaksin Nusantara dengan data yang dipaparkan pada rapat kerja di DPR tersebut.

Padahal menurutnya, BPOM sudah selesai meninjau hasil uji klinis I Vaksin Nusantara.

"Saya hanya memberikan komentar bahwa data yang diberikan tadi tidak sama dengan data yang diberikan kepada BPOM dan kami sudah melakukan evaluasi," jelasnya.

Penny melanjutkan, pihaknya sudah menyerahkan hasil peninjauan atas uji klinis tersebut pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan tim peneliti vaksin di Semarang.

Kendati demikian, dia tak menjabarkan secara detail hasil tinjauan tersebut.

Penny hanya menuturkan, BPOM belum memberikan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK) untuk uji klinis tahap dua dan tiga.

Untuk itu, Penny menekankan agar penelitian dan pengembangan vaksin ini dapat terlaksana sesuai standar penelitian yang berlaku.

"Untuk menghasilkan produk obat dan vaksin yang aman, berkhasiat, dan bermutu. Maka seluruh tahapan penelitian dan pengembangan harus sesuai dengan standar dan persyaratan baik GLP, GMC, dan GCP," harap dia.

Tiga catatan IDI

Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, belum melihat adanya keterbukaan data terkait Vaksin Nusantara.

Sebab, sampai saat ini ia belum menemukan publikasi data di jurnal ilmiah terkait vaksin tersebut, meski akan memasuki uji klinis tahap 2.

"Kalau ada penelitian-penelitian baru, saya mendukung dan tertarik banget. Namun sebagai dokter, kita harus bicaranya terbuka mengenai data ilmiahnya," kata Zubairi kepada Kompas.com, Jumat (19/2/2021).

"Sel dendritik ini kan sejak beberapa tahun lalu sudah dipikirkan untuk mengatasi kanker. Namun mengatasi penyakit infeksi saya baru denger sekarang. Jadi ini memang hal yang menarik," sambungnya.

Padahal, vaksin tersebut berpotensi mengharumkan nama Indonesia jika benar-benar berhasil.

Menurut dia, Indonesia nanti akan dianggap sebagai perintis vaksin berbasis dendritik.

Kedua, Zubairi melihat Vaksin Nasional sangat sulit untuk digunakan di masa darurat seperti saat ini.

Pasalnya, proses vaksinasi dari pengambilan darah hingga bisa disuntikkan kembali membutuhkan waktu berhari-hari.

"Tentu tidak mudah, sulit sekali. Padahal target pemerintah 800.000 per hari. Namun jika seandainya berhasil, ya welcome saja, tidak usah untuk ratusan ribu," jelas dia.

"Yang penting adalah terbukti aman dan efektif yang menurut saya saat ini belum cukup data," lanjutnya.

Ketiga, ia mempertanyakan soal klaim bahwa Vaksin Nusantara menciptakan antibodi seumur hidup. Menurutnya, klaim tersebut membingungkan publik dan tidak disertai data.

Bahkan, para ahli dunia pun belum bisa menjawab apakah antibodi yang dihasilkan vaksin Moderna, Sinovac, Pfizer tahan lama.

"Tidak ada itu klaim yang mereka sampaikan bahwa antibodi dari vaksin-vaksin tersebut bisa bertahan enam bulan, satu tahun, apalagi seumur hidup," ujarnya.

Ia menegaskan, penelitian vaksin tak hanya membutuhkan harapan, tetapi juga harus based on data.

Peneliti UGM Mundur

Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengajukan surat pengunduran diri dari tim penelitian uji klinis vaksin sel dendritik SARS-Cov-2 atau vaksin nusantara.

Alasannya, para peneliti tidak dilibatkan dalam proses uji klinis, termasuk dalam penyusunan protokol.

Surat pengunduran diri dari FK-KMK UGM ini ditujukan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Wakil Dekan FK-KMK UGM Bidang Penelitian dan Pengembangan Yodi Mahendradhata mengatakan, sejauh ini pihaknya belum terlibat dalam penelitian uji klinis vaksin sel dendritik SARS-Cov-2 atau vaksin nusantara.

"Kita baru tahu saat itu muncul di media massa bahwa itu dikembangkan di Semarang kemudian disebutkan dalam pengembangannya melibatkan tim dari UGM," ujar Wakil Dekan FK-KMK UGM Bidang Penelitian dan Pengembangan, Yodi Mahendradhata dalam keterangan tertulis Humas UGM, Senin (8/3/2021).

Yodi menyampaikan, sejumlah peneliti UGM sempat menerima komunikasi informal.

Komunikasi tersebut terkait dengan rencana pengembangan vaksin di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan menyatakan bersedia mendukung penelitian yang akan dilakukan.

“Waktu itu belum ada detail ini vaksinnya seperti apa, namanya saja kita tidak tahu. Hanya waktu itu diminta untuk membantu, ya kami di UGM jika ada permintaan dari pemerintah seperti itu kami berinisiatif untuk membantu," tegasnya.

Namun demikian, setelah itu tidak ada komunikasi lebih lanjut terkait penelitian vaksin tersebut.

Para peneliti juga tidak mengetahui Kemenkes telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor HK 01.07/MENKES/11176/2020 yang mencantumkan nama mereka beserta posisi yang duduki dalam tim penelitian.

Peneliti yang namanya telah tercantum dalam Surat Keputusan Menkes tersebut bahkan belum mengetahui detail penelitian.

Menurutnya, para peneliti merasa keberatan karena tidak pernah dilibatkan dalam seluruh proses penelitian. Selain itu, para peneliti juga sama sekali belum pernah melihat protokol uji klinis.

Penelitian yang dikerjakan dengan melibatkan sejumlah pihak lanjutnya memerlukan komunikasi yang intens sebelum dan selama penelitian dilakukan.

Kementerian Kesehatan selaku koordinator penelitian perlu memberikan sosialisasi dan menjelaskan detail penelitian yang akan dikerjakan. Namun, tahapan-tahapan tersebut tidak dilakukan.

"Kita belum pernah menerima surat resmi, protokol, atau apa pun. Teman-teman agak keberatan, kalau disebutkan sebagai tim pengembang kan harus tahu persis yang diteliti apa," sebutnya.

Klaim Terawan

Ketua Tim Pengembang Vaksin Nusantara Terawan Agus Putranto memastikan bahwa vaksin Nusantara aman digunakan.

"Vaksin Covid-19 berbasis dendritik sel, yang tentunya karena sifatnya autologus, sifatnya individual, tentunya adalah sangat sangat aman," kata Terawan dalam rapat kerja Komisi IX DPR, Rabu (10/3/2021).

Terawan pun menceritakan pengalamannya menginisiasi Vaksin Nusantara sejak 2015.

Ia mengatakan, saat itu secara pribadi, dirinya sudah mengembangkan proses dendritik sel di cell cure center RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.

Namun, saat itu sel dendritik belum dikhususkan untuk membuat vaksin Covid-19, tetapi digunakan dalam riset pengembangan vaksin kanker.

"Dendritik sel sudah kita kenal dan kita sudah publish di internasional jurnal untuk dendritik sel vaksin. Tetapi waktu itu memang saya publish-kan dalam bentuk untuk dendritik sel untuk kanker," jelasnya.

Ketika wabah Covid-19 melanda Tanah Air, Terawan pun mencoba memanfaatkan sel tersebut sebagai vaksin.

Inisiatif itulah yang kemudian mendapat dukungan dari sejumlah pihak, antara lain RSUP dr Kariadi dan Universitas Diponegoro.

"Kebetulan saya bisa mendorong teman-teman dari Universitas Diponegoro untuk bisa mengembangkan ini dan saya bersyukur waktu itu Kementerian Kesehatan bisa men-support-nya," papar dia.

Lebih lanjut, Terawan berharap Vaksin Nusantara yang dikembangan dengan metode dendritik sel ini dapat menjadi solusi bagi masyarakat yang termasuk pengecualian kriteria penerima vaksin Covid-19.

Secara detail, dia beranggapan bahwa vaksin ini dapat menjadi solusi bagi mereka yang mengalami autoimun, bahkan yang memiliki komorbid berat.

Presiden ikut bicara

Jokowi ikut menanggapi polemik ini. residen Joko Widodo mengatakan, untuk menghasilkan vaksin yang aman dan bermutu harus melalui kaidah saintifik atau keilmuan yang berlaku.

Kaidah-kaidah yang dimaksud salah satunya tentang uji klinis vaksin yang sesuai prosedur, terbuka, transparan serta melibatkan banyak ahli.

Menurut kepala negara, hal itu penting dilakukan untuk menegaskan proses pembuatan vaksin yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

"Persyaratan dan tahapan ini penting dilakukan untuk membuktikan bahwa proses pembuatan vaksin sangat mengedepankan unsur kehati-hatian dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah," jelas Jokowi, Jumat.

"Sehingga vaksin yang dihasilkan aman dan efektif penggunaannya," tegasnya.

Presiden menambahkan, apabila semua tahapan sudah dilalui, pemerintah akan mempercepat produksi untuk memenuhi kebutuhan vaksin Covid-19 di dalam negeri.


Berita Lainnya