• Beranda
  • Berita
  • TIME MACHINE: KEJADIAN ERA PERANG DUNIA II YANG MEMPENGARUHI INDONESIA HARI INI
Nasional

TIME MACHINE: KEJADIAN ERA PERANG DUNIA II YANG MEMPENGARUHI INDONESIA HARI INI

By Kamis, 22 Desember 2022 Pengunjung (541) 19 Menit Bacaan
time-machine-kejadian-era-perang-dunia-ii-yang-mempengaruhi-indonesia-hari-ini -

Tak ada satupun kejadian didunia ini yang berdiri sendiri dan tidak terkait dengan kejadian lain dalam skala kecil maupun besar, dalam dimensi ruang mapun waktu. Pun begitu dengan apa yang terjadi dan kita alami setiap hari saat ini, ditempat kita berpijak saat ini, di desa kita, kota kita dan negara kita. Baik dalam segi ekonomi, politik, sosial, budaya. Tak ada yang ahistoris. Budayawan Emha Ainun Nadjib atau akrab disapa cak nun mengistilahkan dengan, “tak ada yang yatim piatu sejarah”. Semua memiliki kausalitas.


Tak ada salahnya kita melakukan refleksi kembali tentang apa dan siapa kita hari ini, terkait dengan kejadian-kejadian pada tataran global saat proklamasi 1945 terjadi. Bisa jadi, apa yang kita alami saat ini adalah akibat dari pergolakan dunia saat itu.

Pada medio 1939 hingga 1945, dunia sedang dicekam oleh sebuah peristiwa mahadahsyat bertajuk Perang Dunia II (PD II). Sebuah perang terbesar dalam sejarah umat manusia yang menjadikan nyaris seluruh belahan dunia sebagai arena pertempurannya, dan menelan korban yang luarbiasa banyak, mencapai ratusan juta jiwa. Karena besarnya cakupan peristiwa itu, maka wajar bila akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan masih sangat kuat terasa hingga hari ini. Pun, bagi kita yang saat itu adalah sebuah entitas bangsa yang menempati wilayah koloni belanda, nun jauh di Asia Tenggara.


Selamat mengendarai mesin waktu…


Perang Dunia II bisa dibilang adalah konflik antara negara-negara industri yang telah establish (diwakili oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia) dengan negara-negara industri baru (diwakili Jerman, Italia dan Jepang). Negara-negara industri baru merasa gerah dengan tatanan ekonomi global yang tak adil bagi mereka.

Hal itu terkait dengan penguasaan dan dominasi negara-negara industri maju atas akses sumberdaya alam (sebagai suplai raw material industrialisasi atau supply side) dan akses pemasaran (sebagai serapan dari produk industri yang mereka hasilkan atau demand side). Akses sumber daya alam dan akses pemasaran itu didapatkan dari penguasaan teritorial alias kolonialisasi.


Negara-negara seperti Jerman, Jepang dan Italia merasa dirugikan atas peta kolonialisasi serta konstelasi perdagangan global saat itu. Jerman, Jepang dan Italia memiliki daerah jajahan yang relatif kecil dan terbatas dibandingkan dengan Inggris dan Prancis atau Belanda. Dengan daerah jajahan yang tersebar di seantero belahan dunia, ketiga negara yang disebut terakhir itu dengan mudah mendapatkan suplai bahan baku bagi industrinya, serta mudah pula menjual produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, Inggris memiliki India untuk menyerap segala produk yang dihasilkan pabrik-pabrik di negaranya.


Sejak awal, industrialisasi memang memunculkan kapitalisasi aset-aset, termasuk bahan baku dan manusia pekerja. Dan kapitalisasi memicu kolonialisasi, saat segala sumber alam yang ada di negara bersangkutan tak lagi mencukupi kebutuhan industri yang dibangun. Negara-negara industri tersebut merasa harus meluaskan wilayah kekuasaannya atau disebut kolonialisasi untuk mencukupi kebutuhannya, karena mereka merasa bahwa tanpa menguasai secara mutlak (memonopoli), dan hanya mengandalkan perdagangan bebas, maka tak ada jaminan bila industri mereka akan sustain.

Dalam konteks itu, Jerman, Italia dan Jepang memiliki wilayah jajahan yang terbatas dengan daya beli yang juga terbatas. Opsi yang tersedia adalah, merebut wilayah kekuasaan negara lain yang kaya sumberdaya alam dan dapat dijadikan target market.

Tentu saja kepentingan mereka berbenturan dengan negara-negara industri lainnya. Maka segera terjadi dua polarisasi kekuatan besar. Pihak Axis berisi Jerman, Italia dan Jepang berhadapan dengan Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Rusia  beserta sekutu-sekutunya.


Atas motif tersebut, maka terjadilah pertempuran demi pertempuran berdarah-darah yang berlangsung dari tahun 1939 hingga 1945, mencakup nyaris seluruh jengkal wilayah di muka bumi. Medan perang Eropa, Asia, dan Afrika menjadi arena pertumpahan darah yang luar biasa mencekam.

Pendulum sejarah ternyata mengarah pada pihak sekutu. Mereka mampu mengalahkan koalisi Axis. Jika pada fase awal PD II pihak axis merajalela, maka di fase akhir mereka bertekuk lutut. Jerman porak poranda di hajar Amerika Serikat dan Rusia. Hitler sang diktator yang memantik Perang Dunia II harus mengakhiri hidupnya sendiri di tengah reruntuhan kota Berlin, bunuh diri Bersama Eva Braun sang pacar gelapnya. Musolini Si pimpinan fasis Italia jadi pesakitan di negaranya sendiri, dieksekusi gerilyawan pejuang Italia yang disokong Amerika Serikat dan Inggris. Jasadnya jadi tontonan, digantung terbalik di Kota Milan.


Sementara nasib Jepang jauh lebih apes, jadi ‘bahan eksperimen’ bom atom buatan Amerika Serikat. Pada tanggal 6 Agustus 1945 pukul 08:15 pagi, pesawat pembom terbesar saat itu B-29 berjuluk “Enola Guy” menjatuhkan bom atom “Little Boy” di kota Hiroshima. Buumm..!!! Bom itu, menewaskan 80.000 orang serta puluhan ribu orang terpapar radiasi dan meninggal beberapa waktu setelahnya. Tiga hari kemudian, pesawat dengan tipe yang sama berjuluk “Bockscar” menjatuhkan bom atom kedua “Fat man” di Kota Nagasaki. 40.000 orang tewas seketika terpanggang menyusul ribuan lagi meninggal beberapa waktu kemudian.

Sebenarnya, tanpa dijatuhi kedua bom tersebut, Jepang sudah nyaris pasti kalah perang karena sudah terdesak dan kalah di berbagai medan pertempuran sebelumnya. Dengan dijatuhi bom itu, Amerika Serikat bisa menyelamatkan ribuan nyawa pasukannya, dibanding harus masuk ke pulau-pulau utama jepang dan menghadapi pasukan berani mati Jepang. 

Setelah Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, pada 15 Agustus 1945 Jepang mengadakan Kapitulasi Tokyo yang merupakan penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu di geladak kapal perang Amerika Serikat, USS Missoury. Secara de facto, selesailah PD II.

 

KONSTELASI PASCA PERANG DUNIA II

Perang dahsyat itu telah merubah secara signifikan seluruh tatanan dunia setelahnya. Peta politik sontak berubah. Hukum alam berlaku, pemenang perang menentukan jalannya sejarah setelahnya. Sebelum dan saat Perang Dunia II berlangsung, tata politik dunia bersifat multipolar dengan adanya sejumlah kekuatan politik, militer, dan ekonomi yang saling bersaingan, yaitu Jerman, Italia, dan Jepang di satu sisi dengan Uni Soviet, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis di sisi yang lain.


Paska perang yang menjadikan koalisi axis sebagai pecundang, tatanan politik dunia cenderung menjadi bipolar, dengan dua kekuatan adidaya muncul, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Uniknya, negara-negara sekutu lain, seperti Perancis, Inggris, Belanda, Belgia dan lain-lain bagai terpinggirkan dari panggung politik global. Hal ini dapat dimengerti, karena memang Amerika Serikat dan Uni Soviet lah yang memiliki saham paling besar dalam kemenangan sekutu melawan axis, utamanya dalam pertempuran menghadapi Jerman yang  pada fase awal perang memiliki kekuatan militer yang benar-benar mengerikan. Mereka berdualah yang tiba di Berlin sebagai pertahanan terakhir Jerman.


Ada beberapa perkembangan paska PD II, yang dampaknya benar  membuat tatanan politik dan ekonomi dunia berubah secara drastis:


Pertama, Marshall Plan dimulai, Amerika menjadi Negara Kreditur. PD II yang berakhir pada 1945 meninggalkan kerusakan besar di berbagai belahan dunia. Kota yang porak-poranda akibat perang, dapat membangun kembali puing-puing reruntuhan berkat adanya Marshall Plan dari Amerika Serikat.

Marshall Plan adalah bantuan ekonomi yang diberikan Amerika Serikat ke negara-negara yang hancur akibat Perang Dunia II. Sebagian besar dana itu diberikan berupa hibah dan sisanya adalah pinjaman lunak jangka panjang. Sebanyak 17 negara di wilayah barat dan selatan Eropa yaitu: Inggris, Austria, Belgia, Belanda, Denmark, Perancis, Swedia, Islandia, Irlandia, Yunani, Italia, Luksemburg, Norwegia, Swiss, Turki, Jerman Barat.

Langkah ini juga bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan industri Eropa serta menghidupkan kembali industri kimia, permesinan, dan baja.

Amerika Serikat dapat membantu negara Eropa lainnya disebabkan karena main land Amerika Serikat sama sekali tidak menjadi arena pertempuran yang memporak porandakan seluruh fasilitas dan factor produksi barang dan jasa. Tercatat hanya Pearl Harbour di Hawai yang sempat menjadi sasaran pemboman Jepang yang menjadi awal keterlibatan Amerika Serikat di kancah Perang Dunia II. Beda dengan wilayah Inggris yang selama perang sering di bombardier Jerman dengan pesawat-pesawat pembomnya, atau Perancis yang seluruh wilayahnya benar-benar jatuh ke tangan Jerman. Dengan tidak terganggunya wilayah Amerika ini, produksi alat-alat perang utama seperti pesawat, kapal perang dan tank dapat terus bergulir dengan volume maksimal. Pada gilirannya, kecepatan dan volume produksi alat perang ini menjadi penentu keberhasilan di medan laga. Pun, demikian halnya dengan produksi barang dan jasa untuk keperluan sehari-hari.

Bantuan dari AS ini langsung memberi dampak positif dengan peningkatan produk bruto negara-negara penerima bantuan sebanyak 15-25 persen. Pada kurun waktu 1948-1952, perekonomian Eropa melonjak dan mencapai level tertinggi sepanjang sejarah. Sektor industri melonjak hingga 35 persen, sedangkan sektor pertanian melampau hasil produksi di masa sebelum perang.

Bantuan Ekonomi dalam Marshall Plan inilah yang sukses menjadikan Amerika Serikat memiliki pengaruh yang sangat besar di Eropa, terutama bagi negara penerimanya. Pada gilirannya menguatnya pengaruh di Eropa ini akan memuluskan Amerika menjadi penguasa panggung percaturan politik global.

Dengan Marshal Plan ini pula Amerika Serikat nantinya dengan mudah memimpin negara-negara penerima untuk berhimpun di pakta pertahanan Atlatik Utara atau disebut NATO.


Kedua, Terbentuknya IMF dan World Bank Sebagai Kepanjangan tangan Kepentingan Ekonomi Amerika Serikat

Hasil dari diterapkannya Marshal Plan, Amerika dapat dengan mudah mengambil pimpinan dalam menentukan institusi dan peraturan–peraturan baru yang mendasari perekonomian dunia. Sistem yang kemudian dilanjutkan pada mekanisme yang saat itu dikenal dengan sebutan Bretton Woods System yang diambil berdasarkan nama kota kecil di Amerika Serikat yang merupakan tempat sistem Bretton Woods itu dibuat. Pada tahun 1947 Bretton Woods menjadi titik awal sejarah kejayaan Amerika Serikat dengan membentuk lembaga–lembaga perekonomian dunia pascaperang. Diantaranya yaitu, International Monetary Fund (IMF), World Bank (Bank Dunia), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang sekarang diganti World Trade Organization (WTO), dan Organisation for Economic Co- operation and Development (OECD), yang kemudian dalam kiprahnya, sistem tersebut berhasil membawa Amerika Serikat pada puncak kejayaannya, karena pada dasarnya lembaga–lembaga baru tersebut dapat dikendalikan oleh Amerika Serikat berdasarkan kepentingannya.

Amerika Serikat yang menjadi negara pemenang perang cenderung superior baik secara ekonomi, militer, dan teknologi. Hal ini berbeda dibandingkan dengan 43 negara lainnya sehingga dalam hal ini peran Amerika Serikat sulit untuk diminimalisasi. Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang sangat vokal dalam mengartikulasikan kebijakan luar negerinya terkait dengan paham ekonomi yang dianutnya yakni liberalisme dengan mengedepankan mobilitas modal dan perdagangan bebas. Amerika Serikat sedikit demi sedikit mulai menginjeksikan paham liberalisasi dalam arah kebijakan yang diambil untuk membuka pasar negara – negara lain sehingga kelebihan modal Amerika Serikat pada saat itu dapat disalurkan.


Ketiga, Mata uang USD menjadi standar kurs dunia. Sebelumnya, Inggris dengan poundsterling-nya yang menjadi standar kurs mata uang dunia. Namun, menjadi beralih ke USD karena Perekonomian Inggris terpuruk akibat Perang Dunia I dan harus berhutang dalam jumlah banyak kepada Amerika.

Resesi ekonomi global paska Perang Dunia II benar-benar mengukuhkan USD sebagai standar kurs dunia. Sebagai hasil dari Perjanjian Bretton Woods, USD secara resmi dinobatkan sebagai mata uang cadangan dunia, yang didukung oleh cadangan emas terbesar di dunia. Alih-alih cadangan emas, negara lain mengakumulasikan cadangan dolar AS sebagai standar kekuatan devisa negara. Fenomena ini semakin mengukuhkan hegemoni Amerika atas perekonomian dunia.


Keempat, Berkembangnya Neo Kolonialisme berupa berkembangnya Trans-National company. Perang Dunia II telah mengakhiri sistem imperialisme politik. Kolonialisasi dengan pola menguasai wilayah jajahan tidak lagi dapat dilakukan dan negara-negara jajahan satu per satu memerdekakan dri, termasuk Indonesia yang merdeka tepat di penghujung berakhirnya Perang Dunia II. Akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi dominasi negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat dalam bidang ekonomi. Model kapitalisme Amerika tidak membutuhkan adanya daerah yang harus dijadikan sebagai koloni atau jajahan. 

Kapitalisme Amerika cukup puas apabila negara-negara yang ada membuka diri bagi arus masuknya barang-barang dan investasi dari Amerika Serikat. Model eksploitasi ekonomi tersebut dikenal dengan istilah neo kolonialisme. Wujud dari neo kolonialisme adalah adanya dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Multi National Corporation /  Trans National Corporation di negara-negara bekas koloni. Swasta kali ini menjadi kepanjangan tangan negara-negara industri dan ekonomi maju dalam menguasai kepentingan ekonomi di negara-negara bekas koloni. Pada gilirannya, hal ini menjadi pola fundamental dalam tegaknya system kapitalisme di seluruh dunia. Pada beberapa kasus, kita mendapati bahwa perusahaan-perusahaan Trans Nasional Corporation itu memiliki kekuasaan “invisible hand” yang amat kuat dalam mengatur proses politik suatu negara.

 

Dapat dikatakan, keempat perkembangan diatas adalah hal-hal yang membuat dunia benar-benar memasuki era baru, yang menempatkan Amerika sebagai pemimpin politik, militer, ekonomi dan budaya dunia. Segala yang terjadi di dunia paska Perang Dunia II hampir pasti selalu terkait dengan kebijakan global yang dikeluarkan Amerika.

Ada perkembangan-perkembangan lain yang terjadi paska Perang Dunia II, namun impact-nya tidak sekuat keempat perkembangan diatas. Sekedar menyebut beberapa lainnya antara lain, Jerman diduduki negara-negara sekutu; migrasi Massal ke Amerika Serikat, Prancis dan Inggris; komunisme tersebar di Eropa Timur dan Asia; terjadinya Persaingan Amerika Serikat dan Uni Soviet yang kelak menjadi perang dingin; Jepang dan Filiphina dikuasai Pengaruh Amerika; Industrialisasi Korsel, Taiwan dan Singapura; Berdirinya Israel dan awal perang berkepanjangan Arab Israel; serta Mundurnya pengaruh Inggris dan Perancis dalam peta politik global.

Apakah dominasi dan hegemoni itu juga berimbas di kehidupan ekonomi politik social dan budaya di Indonesia? Mari kita refleksikan fakta-fakta pasca PD II diatas ke kehidupan bernegara kita saat ini.

 

Pertama, Dominasi negara adi kuasa (pemenang PD II) dalam politik dan ekonomi nasional. Sesaat setelah kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, sebagaimana bayi baru lahir, Indonesia masih harus berjibaku untuk mempertahankan kemerdekaannya dari keinginan Belanda untuk kembali mendominasi bangsa kita. Tercatat hingga tahun 1949, tepatnya adalah di Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung secara marathon dari tangga 23 Agustus  hingga 2 November 1949, dimana Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan gugusan kepulauan Nusantara ini Kepada Republik Indonesia.

 

Nah, tak Jamak diketahui oleh publik bahwa ada pengaruh besar Amerika Serikat dalam menyegel berbagai kesepakatan didalam KMB ini. Perundingan ini menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status “bangsa paling disukai” kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.

 

Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942. Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda. Ini adalah jejak pengaruh AS dalam politik Indoensia, saat Negara ini masih seumur jagung.

 

Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya. Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati. Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.

 

Kedua, Cerita begitu besarnya pengaruh politik dari para pemenang PD II kembali berlanjut, saat Indonesia memperjuangkan kembalinya Papua (dulu disebut Irian Barat). Saat penentuan nasib Papua Barat selalu tertunda, membuat Presiden RI Soekarno geram dan mulai melancarkan kampanye perebutan Papua Barat dengan komando Trikora (Tri Komando Rakyat), Amerika Serikat lah yang lagi-lagi berinisiasi membawa Indonesia dan Belanda bertemu di meja perundingan dan menghasilkan Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, yang memerintahkan  penyerahan Papua Barat kepada Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963.

 

Banyak analis meyakini, Amerika sudah menanamkan cakar kekuasaannya di tanah Papua setelah peristiwa itu, dengan akhir menguasai tambang emas terbesar di dunia melalui perusahaan Trans-Nasional Corporationnya, yakni Freeport McMoran. “Sumbangan” emas  dari Papua ini pula yang dapat sedikit banyak menjaga nilai USD equal/setara dengan cadangan emas yang dimiliki Amerika. Sebuah sumbangan yang tiada tara besarnya pada pengukuhan Amerika sebagai penguasa ekonomi dunia.

 

Ketiga, Indonesia memilih jalur kiri, berkoalisi dengan negara-negara Blok Timur. Segera setelah PD II berakhir, peta politik global berada dalam kondisi Bipolar. Amerika Serikat memimpin Blok Barat dan Uni Soviet memimpin Blok Timur. Pada awalnya, Indonesia mengambil posisi non-blok. Tidak ke barat, tidak pula ke kiri. Hal ini dibuktikan dengan semangat penyelenggaraan KTT Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung pada 18 hingga 24 April 1955. Indonesia sebagai salah satu negara inisiator KAA ini ini berposisi sebagai negara yang non blok dan turut serta dalam mendukung gagasan kemerdekaan negara-negara yang masih terkolonialisasi, termasuk Palestina.

 

Sikap independent yang militant ini terus diperlihatkan Indonesia dibawah Presiden Soekarno, saat Soekarno tak mau menerima bantuan dari Amerika Serikat yang penuh syarat dan kepentingan politis. Ketika melawat ke AS dan memiliki kesempatan berpidato di depan kongres AS, Soekarno dengan tegas menolak bantuan dari negara adidaya itu.

"Indonesia menolak diperlakukan seperti seekor kenari dalam sangkar emas dan diberi makanan yang enak-enak. Indonesia ingin diperlakukan seperti burung garuda yang berada di atas batu cadas tetapi bebas berjuang mencari makanannya sendiri. Jangan membanjiri Dolar anda ke Indonesia dengan disertai ikatan karena pasti akan ditolak," tegas Soekarno dengan marah sekitar tahun 1955.

Para anggota Kongres AS terpesona dengan pidato tersebut. Secara spontan mereka berdiri dan memberi tepuk tangan panjang sebagai penghormatan atas sikap Soekarno. Hubungan Soekarno dan AS sempat sangat baik saat John F Kennedy menjadi presiden AS. Berkat persahabatan keduanya Indonesia bisa memperoleh pesawat angkut C-130 Hercules. Secara tulus, Kennedy juga memberikan helikopter kepresidenan untuk Soekarno. 


Namun setelah Kennedy ditembak, hubungan Indonesia dan AS menjauh. AS terlalu congkak untuk menganggap Indonesia sebagai mitra sejajar. Maka Soekarno berpaling ke Blok Timur yang menyambutnya dengan tangan terbuka. Soekarno menggambarkan dengan dramatis bagaimana pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschev menyambutnya. Di suatu hari yang sangat dingin di Rusia, Kruschev menjemput Soekarno. Tanpa banyak bicara dia mengajak Soekarno dan memberikan pinjaman tanpa bunga untuk Indonesia. Dari Soviet pula Indonesia mendapat aneka persenjataan canggih untuk operasi militer merebut Irian Barat. Mulai dari pesawat tempur, pesawat pembom, kapal selam, kapal patroli hingga rudal anti serangan udara. Indonesia sempat menjadi negara paling kuat di Asia tahun 1960an.

Soekarno pun bersahabat dengan Ketua Mao. Sambutan untuk Soekarno di Peking saat itu sangat meriah, seolah menyambut tamu agung. Dengan Kim il Sung, Soekarno pun bersahabat sangat baik. Kim tak pernah lupa pemberian Anggrek Soekarno yang selalu dianggapnya hadiah paling istimewa. Poros Jakarta-Peking-Moscow-Pyongyang pun terbentuk. Blok Barat, AS dan sekutunya panas dingin melihat Indonesia makin ke-kiri-kirian. Di satu sisi, mereka pun takut berhadapan dengan Indonesia karena angkatan perangnya yang kuat. Apalagi China dan Uni Soviet berada di belakang Indonesia. 

Keempat, Poros Jakarta-Peking-Moscow-Pyongyang hancur saat Soeharto berkuasa. Pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto memutus semua hubungan dengan negara Blok Timur dan mulai mesra dengan AS dan Eropa Barat. Hal ini tak lepas dari tragedi G30S/PKI pada tahun 1965, dimana PKI yang sepenuhnya berafiliasi ke komunis China dituding menjadi pelaku kudeta gagal itu. Fase peralihan antara Orde Lama (sebutan bagi kepemimpinan Soekarno) dan Orde Baru (julukan untuk kepemimpinan Soeharto) ini dilalui oleh bangsa ini dengan berdarah-darah. Aksi pengganyangan PKI diwarnai dengan pembunuhan-pembunuhan yang oleh berbagai versi penelitian diyakini memakan korban sekitar satu juta orang anggota PKI atau yang dituduh terlibat PKI. 

Sebagaimana pengaruh Uni Soviet – China begitu kental pada periode Soekarno mendorong Indonesia condong pada Blok Timur, Banyak pengamat dan peneliti meyakini keterlibatan Amerika dalam fase pergolakan 1965 hingga 1966 ini. Duta besar Amerika untuk Indonesia saat itu adalah Marshall Green, Seorang yang dijuluki sebagai “ahli kudeta”, dianggap memiliki peran yang sangat aktif dalam menyokong pergeseran kekuasan ini dengan berbagai bantuan kepada militer Indonesia untuk menumpas PKI.

Kelima, Indonesia jatuh dalam pelukan hutang IMF. Sebenarnya, Indonesia berhutang pada IMF bukan saat setelah Soeharto berkuasa saja. Jauh sebelum itu, sesaat setelah pengakuan kedaulatan RI di Konferensi Meja Bundar yang salah satu keputusannya menyatakan Indonesia harus menanggung beban hutang Belanda selama menguasai Indonesia sebesar 4,3 milyar gulden atau setara 1,13 Milyar USD, Indonesia langsung dihadapkan pada satu pilihan tunggal: berhutang pada IMF.

 

Inilah ‘Jebakan batman’ pertama IMF memerangkap Indonesia, mengingat, Amerika lah yang mendorong Indonesia mengambil resiko menerima tanggungan hutang Belanda sebagai konsekuensi pengakuan kedaulatan RI. Indonesia juga wajib membiayai 17 ribu karyawan eks Belanda selama 2 tahun, serta menampung 26 ribu tentara bekas KNIL.

 

Situasi ini membuat perekonomian nasional langsung goyah hanya beberapa pekan setelah pengakuan kedaulatan. Redi Rachmat dalam Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa (1992) mencatat, Indonesia mengalami defisit hingga 5,1 miliar rupiah (hlm. 19). Oleh karena itu, negara ini jelas membutuhkan dana dalam jumlah yang besar. Maka, pemerintah Indonesia di bawah rezim Sukarno mengajukan permohonan menjadi anggota IMF dan Bank Dunia. Proses untuk ini bergegas dilakukan.

 

Akhirnya, dengan penandatanganan Articles of Agreement dari IMF dan Bank Dunia tanggal 15 April 1954, Indonesia resmi menjadi anggota dari dua lembaga keuangan internasional tersebut. Indonesia juga diajak untuk ikut merintis International Finance Corporation (IFC), lembaga finansial global yang bernaung di bawah Bank Dunia. Tanggal 28 Desember 1956, Indonesia resmi bergabung dengan IFC. Pada tahun yang sama, IMF mengguyur Indonesia dengan pinjaman sebesar 55 juta dolar AS. Kena! Indonesia mulai berhutang pada IMF.

 

Hubungan IMF dan Indonesia putus nyambung selama kepeminpinan Soekarno. Pada 17 Agustus 1965, bahkan Presiden Sukarno memutuskan Indonesia untuk resmi keluar dari keanggotaan IMF. Padahal, RI masih memiliki utang sebesar kurang lebih 63 juta dolar AS.

 

Relasi Indonesia dengan IMF juga Bank Dunia serta perangkat-perangkat ekonomi internasional lainnya kembali membaik setelah PKI dan Orde Lama ambruk atas dampak terjadinya G30S/PKI 1965. Atas Peran Soeharto, Pada 21 Februari 1967, Indonesia resmi bergabung lagi dengan IMF.

 

IMF menyambut baik kembalinya Indonesia. Tak perlu waktu lama, IMF segera mengirim pinjaman sebesar 51,75 juta dolar AS pada 1968. Lalu disusul gelombang dana berikutnya, menurut laporan jurnal The Bank (1971), senilai 35,75 juta dolar AS sebagai rangkaian dari perjanjian tahun 1968 tersebut. Sejak saat itu, terlebih sepanjang berkuasanya rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, Indonesia menjadi salah satu mitra setia IMF dan Bank Dunia, bersama banyak negara lainnya. Relasi harmonis Indonesia dengan IMF terus terjalin dari waktu ke waktu, dari rezim ke rezim, hingga detik ini.

 

Menurut Bank Indonesia (BI) yang dirilis dalam  Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) pada April 2020, Jumlah hutang luar negeri Indonesia kepada unit usaha Grup Bank Dunia yang dikenal dengan IBRD adalah sebesar 17,7 miliar USD serta kepada  IMF 2,7 miliar USD.

 

Inilah Jejak-jejak historis paska PD II yang dampaknya masih begitu terasa hingga hari ini. JAS MERAH, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah…

 

Penulis : M Irfan N, adalah seorang petani, pegiat IT, pemerhati sejarah ekonomi sosial dan politik

Tag Terkait :

Berita Lainnya